2.3 Menguak Hikmah Menjadi Ketua OSIS

Suatu ketika di salah satu SMP, OSIS menggelar acara rutin tahunan, yaitu pemilihan Ketua OSIS. Terdapat seorang peserta didik yang kurang paham tentang manfaat menjadi ketua OSIS. Oleh karena peserta didik tersebut tidak paham, tidak terbesit sedikit pun keinginan untuk mencalonkan diri menjadi Ketua OSIS. Akan tetapi, ada satu kondisi yang tidak bisa dicegah. Sekolah tersebut mempunyai tradisi mengangkat juara umum dengan nilai tertinggi akademik di antara para juara kelas, untuk menjadi ketua OSIS. Tradisi tersebut sudah diwariskan turun-temurun. Oleh karena peserta didik tersebut menjadi juara umum, secara otomatis dia didaulat dan dilantik menjadi Ketua OSIS. Dia pun naik menjadi Ketua OSIS untuk menggantikan Ketua OSIS periode sebelumnya.

Terdapat empat hikmah yang bisa dipetik dari masa kepemimpinan peserta didik tersebut sebagai Ketua OSIS. Hikmah pertama, kemampuan meraih prestasi akademik sangat berbeda dengan kemampuan memimpin. Mengapa demikian? Mempertahankan prestasi akademik sangat bergantung dari kemampuan mengatur strategi belajar. Tiap peserta didik punya gaya belajar sendiri, maka peserta didik tersebut punya strategi khusus yang bisa membuat dia tetap unggul dalam meraih prestasi akademik di sekolah.

OSIS di SMP tersebut mengalami disorientasi tujuan karena ketuanya tidak paham kepemimpinan. Dia sadar sepenuhnya, secara teori pemimpin harus punya visi, integritas, dan reputasi. Sebagai juara kelas, peserta didik tersebut punya reputasi yang baik sebagai juara kelas. Namun, selain reputasi, ia tidak memiliki karakteristik pemimpin lainnya.

Sebagai pemimpin, pengalaman konkret seperti apa yang pernah peserta didik tersebut lakukan? Dia tidak pernah memimpin organisasi sebelum menjadi ketua OSIS. Kenali potensi diri, syarat tersebut cukup menjadi juara kelas. Kenali diri, bervisi, kenali potensi anggota tim, dan faktor-faktor kunci agar organisasi bisa sukses berlayar di bawah kepemimpinan seorang pemimpin. Peserta didik tersebut bersyukur pernah gagal menjadi Ketua OSIS karena pelajaran berharga bagi dia di masa depan.

Hikmah kedua, peserta didik tersebut tidak mampu merancang program kerja OSIS berbasis kebutuhan peserta didik karena tidak paham persoalan. OSIS sejatinya menjadi organisasi yang mampu mewakili aspirasi peserta didik. Pahamilah, salah satu sifat kepemimpinan adalah kemampuan mengenali persoalan, sebelum persoalan itu jadi matang dan besar. Pemimpin adalah orang yang bisa melihat lebih banyak dari orang lain, lebih jauh dari orang lain, dan lebih dahulu dari orang lain. Kekeliruan terbesarnya sebagai pemimpin adalah terlalu berfokus pada diri sendiri. Pemimpin harus total dan loyal untuk memberikan yang terbaik bagi orang lain, bukan sekadar untuk dirinya sendiri.

Hikmah ketiga, peserta didik tersebut menjadi paham perbedaan antara visi dan ambisi. Membangun OSIS sebagai organisasi terpercaya dan terdepan dalam pengembangan diri peserta didik, itu adalah visi. Visi berorientasi untuk kemaslahatan orang lain. Berbeda dengan keinginan untuk masuk ke SMA favorit pascalulus dari SMP. Apakah itu visi atau ambisi? Nah, dia pikir itu adalah ambisi. Sifatnya berorientasi untuk diri sendiri. Jika pemimpin tidak paham perbedaan visi dan ambisi, pengikut pun akan kebingungan, apakah pemimpinnya itu visioner atau ambisius.

Hikmah keempat, proses pemilihan Ketua OSIS harus dirancang sistematis agar mampu menjadi sarana terbaik untuk melatih jiwa kepemimpinan para peserta didik. Mengangkat Ketua OSIS hanya dengan mengacu pada prestasi akademik saja nyatanya telah membuat OSIS gagal berkembang. Yang paling fatal, proses kaderisasi tidak berjalan baik. Mestinya, sistem kelembagaan OSIS dan Ketua OSIS mendesain proses pengkaderan dengan membina adik-adik kelasnya yang duduk di jajaran Wakil Ketua OSIS atau yang berkomitmen aktif di kepengurusan. Persoalannya, apakah sekolah yang mandatnya diberikan kepada Pembina OSIS sungguh-sungguh mengawal proses kaderisasi kepemimpinan di tubuh OSIS?

Tanggung jawab merupakan konsekuensi dari apa yang telah tergurat sejarah. Peserta didik tersebut pun selalu merasa punya tanggung jawab moral atas apa yang telah terjadi. Awalnya, dia selalu merasa bersalah jika mengingat pengalamannya sebagai ketua OSIS. Namun, bukankah ini cara terbaik untuk melatih sifat-sifat kepemimpinan? Dia tak kuasa mengubah masa lalu. Dia punya masa kini dan masa depan, mampukah dia menjadi pemimpin yang baik?